Rabu, 15 April 2009

Lumpur Sidoarjo

Evolusi Rekayasa Penanggulangan

Pengabaian Ketidakpastian Bawah Permukaan

Sebuah tulisan ringkas dari Dr Andang Bachtiar (mantan ketua IAGI-Ikatan Ahli Geologi Indonesia).

Berita di berbagai media hari ini (Sabtu 12 Mei 2007) menyebutkan bahwa berdasarkan ekspose di hadapan Presiden oleh Tim Jepang yang diendorse oleh para pejabat pengarah BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) maka akan dicoba terapkan teknologi ‘double cover dam” untuk mengurangi dan -kalau bisa- mematikan semburan Lumpur Sidoarjo yang sudah berlangsung hampir setahun lamanya. Jadi, setelah para ahli pemboran gagal (belum selesai) dengan snubbing unit, side-tracking, relief well 1 dan 2, kemudian para ahli fisika gagal (belum selesai) dengan bola-bola beton-nya, maka tibalah saatnya para ahli sipil-konstruksi dan geoteknik mencoba dengan rekayasa penanggulangannya.
klik untuk memperbesarPrinsip dasar rekayasanya sebenarnya persis sama dengan ide yang pernah dikemukakan oleh ahli geologi Arif Budiman di milis yang lalu, dimana semburan lumpur akan diisolasi di luasan diameter semburannya dengan “pipa” berdiameter 50-meter (asumsi diameter semburan) yang mempunyai panjang (tinggi) lebih tinggi dari tinggi maksimum semburan yang pernah tercatat (25 meter?). IAGINET Juli-Agustus 2006 Note: dalam detik.com disebutkan bahwa diameter dam (atau “pipa” dalam tulisan ini) adalah 120 meter dan tinggi dam (atau “pipa”) 40 meter. Diharapkan lumpur yang terkonsentrasi di kolom pipa tersebut akan dengan sendirinya menekan (“counter weight”: istilah Tim Jepang-nya) tenaga semburan dari bawah, sehingga mengurangi volume semburan dan kalau bisa bahkan mematikannya. Sementara itu dengan menerapkan rekayasa separasi gravitasi maka lumpur yang sudah ter”contain” di dalam pipa diameter 50 meter tersebut akan dengan mudah dialirkan ke Kali Porong, dimana diharapkan hanya airnya yang mengalir (dengan beda relief tinggi pipa-ke-kali-porong 20 meter plus), sementara lumpur/padatannya akan tertinggal menekan tenaga semburan dari bawah. Mengapa perlu menunggu sampai Tim Jepang alias orang asing yang menceritakannya ke Presiden, sementara ide-ide dan konsep rekayasa serupa sudah beredar lama di kalangan para ahli Indonesia? Hal ini tidak terlepas dari tidak efektif dan tidak efisien-nya networking antara para professional, saintist, periset dan asosiasi profesi dengan para birokrat dan teknokrat pengambil kebijakan di Indonesia.


Dari dalam ke permukaan


Dari keseluruhan rangkaian evolusi rekayasa pemboran – fisika – konstruksi sipil untuk penanggulan semburan terlihat bahwa pendekatan saintifik-teknis berkembang (atau malah ter-reduksi) dari pendekatan bawah permukaan dalam (deep sub-surface), ke pendekatan bawah permukaan dangkal (shallow sub-surface), dan akhirnya (hanya) menggunakan pendekatan permukaan (surface). Apakah ribuan ahli rekayasa kebumian Indonesia sudah menyerah kepada “monster” di dalam bumi sana yang terus menerus menyemburkan lumpur, sehingga sekarang hanya berusaha coba-coba (trial-and-error) mengatasi efek permukaan dari semburannya itu saja? Saya amati dari berbagai pembicaraan di forum-forum ilmiah resmi maupun tidak resmi dan di milis-milis kaum professional kebumian bahwa sebenarnyalah ribuan orang pandai di negeri ini masih sangat-sangat perhatin (concern) dan berharap bisa berkontribusi dalam usaha penanggulangan semburan tersebut. Termasuk sebagian diantaranya yang menganalisis bahwa karena penyebab semburan tersebut adalah proses geologi (gempa, gerakan tektonik lateral yang sudah matang memicu mud diapir menjadi mud-volcano dan juga karena proses hidrotermal) dan karena sekarang semburan lumpur sudah menjadi mud-volcano, maka tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mematikannya. Sayangnya informasi teknis-saintifik tentang data awal, data monitoring, dan operasi penanggulangan semburan tidak tersedia untuk diakses secara public seperti pada umumnya di kasus-kasus bencana gempa, tsunami, dan banjir. Mungkin karena Lumpur Sidoarjo ini sejak awalnya sudah menjadi masalah bisnis-hukum-politik, maka bagi beberapa pihak pengungkapan data teknis-saintifik tersebut menjadi sangat riskan dan membahayakan kepentingan bisnis-hukum-politik mereka. Tapi satu hal yang pasti: dari waktu ke waktu korban dan kerugian terus bertambah; genangan makin meluas, infrastruktur makin banyak rusak dan terancam, dan jumlah jiwa manusia yang terdampak makin besar. Seberapa bijaksana kita mengambil hikmah dari kegagalan-kegagalan penanggulangan semburan sebelumnya untuk memperbaiki strategi penanggulangan kita berikutnya? Tulisan ini mencoba mengungkapkan – berdasarkan informasi yang tersedia secara publik – kelebihan dan kekurangan metode/pendekatan penanggulangan semburan dalam sudut pandang orang yang sedikit lebih mengerti tentang bumi daripada orang kebanyakan, untuk dapat kita ambil manfaatnya dalam merencanakan penanganan (bukan hanya mematikan) semburan Lumpur Sidoarjo.

Ketidakpastian bawah permukaan

Asumsi dasar dari Tim Pemboran yang melaksanakan program snubbing, side-tracking dan relief well adalah bahwa semburan Lumpur Sidoarjo diakibatkan oleh fluida bertekanan tinggi dari kedalaman 6000-9000 kaki di lubang bor Banjar Panji – 1 yang bergerak vertikal menggerus lempung di kedalaman 3000-6000 kaki membentuk lumpur. Lolosnya fluida tersebut dikarenakan adanya underground blow-out pada proses operasi pemboran. Lumpur dari gerusan tersebut kemudian keluar lewat rekahan di sekitar kaki selubung (casing shoe) di 3580 kaki, dimana rekahan tersebut terhubung ke bidang lemah yang terbentuk sebelumnya karena efek tektonik regional dari dalam bumi sampai ke permukaan. Asumsi tersebut didasarkan pada analisis data teknis pemboran dan data geologi. Sejauh menyangkut data geologi bawah permukaan, Tim Pemboran dibantu oleh analisis para ahli geologi yang menghitung porositas dan tekanan batuan di kedalaman 6000-9000 kaki untuk bisa layak dianggap sebagai “reservoir” pemasok fluida pada bencana semburan ini. Beberapa analisis lainnya juga dilakukan oleh para ahli geologi di Tim Pemboran ini, tetapi implikasi-nya pada perencanaan dan operasi pemboran tidak terlalu signifikan; seperti misalnya: temuan bahwa ternyata posisi sumur BJP-1 berada di jalur zona Sesar Watukosek dan penamaan formasi geologi lokal yang ditembus oleh sumur BJP-1. Analisis geologi maupun data pemboran dari Tim Pemboran yang menunjang asumsi untuk dilakukannya operasi snubbing, sidetracking dan relief well tidak pernah bisa menampilkan image bawah-permukaan secara meyakinkan dan langsung; paling jauh hanya berupa model, sketch, dan logika-logika perhitungan. Disinilah ketidak-pastian itu muncul. Berdasarkan data pemboran dan data geologi yang sama ditambah dengan re-analisis data seismik, say lebih cenderung menyimpulkan bahwa sumber asal lumpur Sidoarjo (air dan padatannya) berasal dari lapisan lempung di kedalaman 3000-6000 kaki. Tapi karena memang saya tidak terlibat langsung dengan keseluruhan operasi penaggulangan (hanya sebagai pengamat independent dari luar), maka tentu saja analisis semacam kepunyaan saya tersebut tidak perlu banget dipertimbangkan oleh Tim Pemboran. Pada saat itu (dari Juni s/d Agustus 2007) sebenarnya ada pula tim geologi/geofisik yang berbeda yang dibentuk oleh Lapindo sedang aktif mengakuisisi data tambahan bawah permukaan berupa VLF-EM (very low frequency electro magnetic), gravity dan micro-gravity data, VES (vertical electric survey alias geolistrik), dan data penurunan tanah memakai GPS station. Peta yang dihasilkan dari interpretasi berbagai data baru tersebut dimanfaatkan oleh Tim Pemboran untuk menentukan dan mendisain lokasi tapak pemboran (terutama relief well). Sayang sekali bahwa survey-survei geofisik di atas tidak pernah bisa menampilkan image bawah permukaan tepat di areal seluasan diameter pusat semburan, karena tentu saja akuisisi datanya sulit dilakukan karena harus berhadapan dengan semburan lumpur panas langsung. Interpretasi data VLF-EM-pun sampai sekarang tidak pernah bisa menampilkan geometri dan hubungan semburan dengan lubang bor BJP-1, padahal sampai saat ini hanya VLF-EM-lah yang punya tingkat keterincian dan akurasi image sampai skala operasional trayektori pemboran maupun trayektori insersi bola-bola beton maupun (terutama) kondisi tapak di dalam area semburan untuk konstruksi “double cover dam”. Tim Pemboran menghentikan rangkaian kegiatannya sampai di Relief Well – 2 karena faktor keamanan tapak permukaan yang terus menerus bergerak. Selain itu hasil sementara dari RW-1 dan RW-2 mengindikasikan bahwa pemboran masih belum mampu mengatasi masalah di “combat-zone” kedalaman 3000-an kaki. Mereka masih belum bisa menembus zona ini karena ternyata setiap kali turunkan pipa setelah penyambungan, rangkaian pipa seolah-olah ditendang kembali oleh tekanan yang ada di zona ini sehingga hasil akhirnya kedalaman menjadi makin lama makin dangkal. Sayangnya data pemboran, tekanan, rheology lumpur, cuttings, dan log-log yang dihasilkan dari proses pemboran relief well juga belum sepenuhnya dibuka untuk bisa direview oleh kalangan para ahli, sehingga ketidak-pastian bawah permukaan di daerah sekitar semburan tersebut makin menjadi-jadi.

Riset (survey): tabu

Ketidak-pastian pemahaman tentang kondisi bawah permukaan di daerah bencana lumpur Sidoarjo lebih diperparah lagi dengan tidak dilakukannya survei-survei lebih lanjut. Diantara survei-survei tersebut adalah: akuisisi berkala micro-gravity, akuisisi ulang VLF-EM dengan modifikasi strategi lapangan untuk mendapatkan data memotong pusat semburan, akusisi data GPR (ground penetrating radar) untuk mengetahui geometri dangkal pusat semburan, echo sounder survey, dan juga monitoring perubahan air tanah di sekitar daerah bencana serta monitoring munculnya semburan-semburan baru yang lebih minor sifatnya (jumlahnya s/d data terakhir Pebruari 2007 berjumlah 40 titik). Pada tataran geologi permukaan, survei-survei kita yang terkait dengan pemahaman fenomena mud-volcano juga sepi-sepi saja. Padahal sampling berkala lumpur dan sediment yang keluar dari semburan harus selalu dilakukan; pengukuran temperature, salinitas, komposisi lumpur/air juga harus rutin.Yang dimaksudkan dengan “kita” tersebut diatas seharusnya adalah TimNas (yang sekarang jadi BPLS), Lapindo sendiri, lembaga-lembaga pemerintah terkait (BPMigas, BG-ESDM, Lemigas, KLH, LIPI, BPPT dll), dan juga Perguruan Tinggi. Malahan lebih sering terdengar (dan sebagian dari kita merasa bangga mengungkapkannya) bahwa Tim dari Rusia, dari Jepang, dari Italia, dari Amerika, dll berdatangan ke lokasi satu-satunya di dunia tersebut untuk mempelajari fenomena lahirnya gunung lumpur (mud-volcano) baru, tentunya dengan melakukan survey-survei, sampling dll yang terkait dengan data geologi permukaannya. Ketika saya kemukakan keprihatinan saya pada langkanya survei-survei tersebut jawaban sebagian kalangan yang berwenang pada umumnya hampir bernuansa seragam: “ yang kita butuhkan adalah real & direct action untuk mematikan semburan, bukan survei-survei atau riset….”. Atau jawaban yang punya dimensi masalah lain lagi adalah: “ waduh, gimana urusan dananya? lha wong untuk keperluan real-direct action dan operasional sehari-hari saja flow dananya tidak jelas,.. dsb..” Dengan tulisan ini saya ingin menyadarkan para pengambil kebijakan di level manapun dalam urusan Lumpur Sidoarjo ini bahwa: tanpa riset/survei geologi-geofisik yang benar (yang biayanya sangat jauh lebih kecil dari usaha langsung penanggulannya), maka rekayasa penanggulangannya akan sia-sia dan buang-buang duit saja.

Geometri Corong?

Program insersi bola-bola beton di bulan Maret 2007 yang lalu dilakukan bukan untuk mematikan semburan, tapi lebih ke rekayasa untuk menghambat laju alir lumpur dengan menggunakan prinsip hukum Darcy. Meskipun banyak cemoohan dan ketidaksetujuan terhadap program ini (terutama dari kalangan pemboran dan penganut paham tektonik regional pemicu semburan), tetapi aspek positif-nya juga perlu kita lihat. Mereka berhasil menurunkan bola sampai kedalaman minimum 1000 meter (3000an kaki), yang termonitor lewat 2 independent measurement (pressure gauge dan benang). Mereka juga berhasil meng-image separoh dari geometri dangkal semburan (menggunakan echo sounder yang dimodifikasi khusus), dimana interpretasinya mengindikasikan geometri corong dengan lebar corong di permukaan +/- 50 meter. Peningkatan kadar gas H2S yang dilepaskan oleh semburan bersamaan dengan penambahan jumlah bola-bola beton yang di-insersikan diinterpretasikan sebagai indikasi positif penurunan tekanan di bawah permukaan, meskipun alur pikir dan argumentasi-nya masih perlu untuk dichallenge lebih lanjut. Saat ini program insersi bola-bola beton juga bernasib sama dengan program Tim Pemboran, tidak (belum) dilanjutkan (lagi) karena kondisi permukaan tempat bekerja tidak lagi memungkinkan. Secara pribadi, saya lebih melihat program insersi bola-bola beton yang maksimum perencanaan dananya 4 Miliar Rupiah tersebut (mungkin baru keluar dana sekitar 1 Miliar Rupiah karena berhenti di tengah jalan) sebagai program riset untuk mengetahui kondisi bawah permukaan paling tidak s/d kedalaman 1000 meter (3000-an kaki). Dibandingkan dengan rencana “program real action” Relief Well -3 yang 490 Miliar Rupiah alias 50 Juta Dollar dan juga rencana Double Cover Dam yang s/d 400 Miliar Rupiah, maka wajar saja kalau dari segi pendanaan program insersi bola-bola beton yang dilakukan oleh para pakar Fisika ITB tersebut tidak ada apa-apanya. Kalaulah kawan-kawan dari Fisika ITB dan BPLS dan Lapindo (yang buntut-buntutnya juga membiayai program-program tersebut) mau membuka diri berbagi dengan berbagai kalangan yang terkait dengan keahlian kebumian dan rekayasa untuk membahas hasil-hasil sementara “riset” bola-bola beton, maka saya yakin akan banyak yang dapat dikontribusikan untuk langkah-langkah selanjutnya penanggulan semburan tersebut.

Double Cover Dam

Dalam pesannya ke BPLS Presiden SBY menyatakan pentingnya Tim Jepang dan BPLS mengkonsultasikan metode double cover dam tersebut ke para ahli geologi. Repotnya, dalam berita media disebutkan bahwa mereka diberi kesempatan untuk konsultasi hanya dalam 2 hari ini sebelum mem-finalkan disain operasional lewat presentasi ke Tim Pengarah BPLS Senin 14 Mei. Tentunya kita semua juga tahu bahwa pada Sabtu-Minggu seperti ini akan sangat sulit meminta kerelaan para professional volunteer untuk bersama-sama berkumpul membahas aspek geologi dari metode double cover dam tersebut. Tetapi kita juga tahu bahwa ada otoritas geologi di Indonesia, yaitu Badan Geologi ESDM (BG-ESDM) yang mustinya punya legacy untuk membahas aspek geologi-nya. Dan karena mereka adalah bagian dari birokrasi pemerintahan, maka mudah-mudahan dalam 2 hari ini pemberian konsultasi-nya kepada BPLS dan Tim Jepang bisa mereka lakukan, tentunya dengan ijin lembur khusus kerja diluar jam normal kerja, demi kepentingan besar penanggulangan semburan lumpur Sidoarjo. Untuk itu pulalah saya tuliskan artikel ini, dengan harapan dapat dibaca dan dijadikan masukan oleh kawan-kawan di BG-ESDM dan tentunya di BPLS, selain juga untuk disebar-luaskan ke masyarakat sehingga mereka jadi lebih mengerti dengan apa yang terjadi di Porong Sidoarjo sana.

Dalam pekerjaan konstruksi bangunan sipil di permukaan tanah dikenal istilah geoteknik: soil test, sondir, atau soil penetration test, dan bahkan seismik dangkal untuk mengetahui kondisi struktur dangkal dan kekuatan “tanah” untuk kestabilan pondasi. Untuk membangun “dam’ (atau pipa) setinggi 40 meter paling tidak diperlukan informasi bawah permukaan sampai kedalaman minimum 40 meter. Apakah informasi teknis tentang hal ini sudah tersedia? Balitbang Dep-Kimpraswil mungkin memiliki beberapa data awal geoteknik daerah Porong, terutama ketika mereka membangun (dan harus memelihara) jalan tol Surabaya-Gempol melewati Porong. Atau bahkan BG-ESDM-pun memiliki data serupa, terutama berkaitan dengan proyek-proyek geologi teknik yang pernah mereka lakukan di daerah tersebut. Namun, perlu diperhatikan dengan sangat bahwa lokasi tempat konstruksi dam (atau “pipa”) yang direncanakan saat ini berada pada kondisi dinamis yang sangat berbeda dengan saat data untuk pembangunan jalan toll diambil (atau saat proyek-proyek geoteknik BG-ESDM dilakukan), yaitu:

1) tergenang lumpur,

2) terus menerus mengalami penurunan yang bukan dikarenakan faktor kompaksi belaka,

3) memiliki rekahan-rekahan / bidang-bidang lemah baru yang diakibatkan oleh penurunan maupun effek heaving dari tubuh bendung lumpur selama 1 tahun terakhir ini, dan

4) kemungkinan mempunyai conduit terhubung dengan sumber lumpur, air, ataupun gas di bawah permukaan akibat dari proses deteriorasi lapisan-lapisan dangkal (kwarter) selama bencana setahun ini.

Oleh karena itu, maka sangat disarankan kepada otoritas BPLS untuk terlebih dulu melakukan riset geoteknik tapak sebelum memutuskan pembuatan disain double cover dam tersebut. Tentunya dalam kondisi seperti yang tertulis diatas tidak mungkin dilakukan pekerjaan geoteknik seperti umumnya dilakukan di tanah kering. Berbagai pendekatan dan modifikasi operasional riset harus dilakukan. Ground Penetrating Radar (GPR) sangat ideal dipakai untuk mendeteksi konfigurasi struktur perlapisan geologi dangkal s/d kedalaman 50 meter. Kalau perlu dalam akuisisi datanya digunakan perahu/hoover-craft yang dipayung-i bahan tahan panas (seperti bahan baju para volcanologist yang riset di atas leleran lava panas yang baru membeku).

Selain khawatir dengan ketidakpastian struktur dangkal, saya juga ingin membawa perhatian anda semua untuk terus menerus mengusahakan pencarian informasi tentang apa yang terjadi di kedalaman yang lebih dalam (150 – 3000 kaki, 3000-6000 kaki, dan ultimately 6000-9000 kaki) melalui survei-survei geosains yang menerus maupun berkala, sebelum secara benar-benar mengimplementasikan disain double cover dam di lapangan. Tentunya disain itu sendiri juga harus disesuaikan dengan kondisi bawah permukaan dangkal dari survei-survei yang sudah saya usulkan di atas. Pengabaian ketidakpastian bawah permukaan akan membawa bencana yang lebih besar lagi apabila dipaksakan untuk menanggulangi semburan hanya berdasarkan rekayasa permukaan.

Kalah cacak – menang cacak

Sejak Juli-Agustus 2006, ketika keterlambatan penanganan semburan mulai serius dan semburan makin membesar menjadi proses pembentukan mud-volcano, saya sudah pesimistis dan mengatakan bahwa ini semua tidak akan bisa ditanggulangi lagi dengan “existing technology available in the market”, lemparkan handuk, dan kita musti bersiap-siap dengan “worst-case scenario”. Skenario terburuk itu saat ini sudah kita jalani, lumpur tak kunjung berhenti menyembur, yang namanya TimNas sudah digantikan dengan Badan (BPLS) yang punya masa kerja jauh lebih panjang, bencana merembet mengimbas ke banyak aspek, tanah sudah mulai diganti-rugi/dibeli, dsb, dsb. Terus, untuk apa kita terus ngotot dengan usaha-usaha penangggulangan semburan langsung kalau kita yakin bahwa ini semua tidak akan bisa ditanggulangi dengan “existing technology”? Poin saya ketika mengusulkan pemberlakuan worst-case scenario dulu itu adalah ingin menciptakan prasyarat dasar safety/keselamatan dimana yang kita pentingkan terlebih dulu adalah jiwa dan penghidupan manusia melalui scenario tersebut. Ketika jiwa dan penghidupan manusia mulai pelan-pelan ada titik cerah untuk diselamatkan, ketika infra-struktur juga sudah mulai dipindahkan (meskipun ada yang telat, kemudian rusak, dan menimbulkan korban waktu pecah: yaitu pipa gas), daerah mulai dikosongkan, maka instink kita sebagai manusia survival harus kita implementasikan. Teknologi yang tersedia di pasaran memang mungkin belum pernah ada yang dapat mematikan gunung-lumpur, tetapi siapa tahu: teknologi yang sedang dan akan diciptakan anak bangsa Indonesia sendiri mampu untuk menanggulangi-nya. Siapa tahu? Lumpur Sidoardjo akan menjadi wahana laboratorium besar dimana konsep-konsep teknologi, rekayasa, dan geologi akan mendapatkan tempat implementasi, tentunya dengan syarat: jiwa, penghidupan, dan hal-hal dasar lainnya sudah bisa diselesaikan.

Sumber :http://riobm.wordpress.com/page/2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar