Jakarta, IEW/2009
Tujuh pekan menjelang Pemilu 2009, Pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) kembali diganggu pembusukan informasi. Delapan lembar dokumen dengan tema Kerugian Rakyat Indonesia di Ladang Gas Senoro, Matindok, diedarkan ke beberapa kantor media massa. Celakanya, tanpa crosscheck ke pihak berwenang, ada media massa yang memuat dokumen tersebut. Buntutnya, menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM)-pun mengklarifikasi rumor Kerugian Rakyat itu dalam media briefing di hall lantai dasar Gedung ESDM, Senin (17/02/2009).
?Isu potensi kerugian Negara Rp 20 Trilyun, kami bantah. Donggi Senoro belum masuk ke pemerintah Sampai sekarang belum ada negosiasi,? kata Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM. Didampingi Direktur Jenderal Minyak dan Gas, Evita H. Legowo, serta Kepala BP Migas R. Priyono, menteri Purnomo memaparkan Potensi Gas Bumi Indonesia. Ini terkait dengan isu Donggi Senoro dan rumor kelangkaan pasokan gas untuk pupuk. ?Alokasi pasokan gas untuk kebutuhan produksi pabrik pupuk selama 2009 di tanah air, secara umum tidak ada masalah. Kecuali gas untuk PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang sudah tersedia sebagian,? katanya.
Berdasarkan laporan Direktur Utama PT Pupuk sebagai holding pabrik pupuk nasional saat kunjungan kerja Presiden RI di Pupuk Kujang, Karawang (10/02/2009), lanjut Purnomo Yusgiantoro, pasokan untuk kebutuhan PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kujang, PT Petrokimia Gresik, dan PT Pupuk Kalimantan Timur sudah terpenuhi dan tidak ada masalah. ?Untuk PT PIM kebutuhan tahun 2009 setara 9 kargo LNG. Pada awal bulan Januari 2009 sudah mulai dipasok 1 kargo,? katanya.
Kepala BP Migas, R. Priyono menambahkan pasokan gas siap disalurkan melalui pipa gas baik dari kilang LNG Arun maupun dari blok NSO ke lokasi PT PIM. Namun, ?Untuk penggunaannya perlu dilakukan penggantian komitmen (swap) dengan pembeli tradisional di Asia Timur yang sampai saat ini masih mempunyai kontrak jual beli LNG dengan Indonesia,? katanya. ?Saat ini, kami sedang menunggu surat persetujuan pemerintah untuk membayar pembelian 8 kargo LNG di pasar spot,? tambahnya.
Rencana pembelian gas untuk memenuhi kebutuhan PT PIM itu menjadi cela untuk membidik pemerintahan SBY. ?Suatu ironi di tengah kelangkaan pupuk yang terjadi sat ini, kita menyaksikan semua gas yang dihasilkan dari lapangan gas Senoro digunakan sepenuhnya untuk kepentingan pemenuhan energi negara lain,? Demikian kalimat terakhir dokumen yang disebar ke berbagai media itu, akhir pekan lalu, termasuk redaksi Indonesiaenergywatch.com.
Apa saja isi dokumen itu? Delapan halaman dokumen pembusukan, yang tidak disertai nama dan alamat asal pengirim itu, terdiri atas tiga bagian. Satu bagian berisi 5 lembar halaman folio dengan judul ?Kerugian Rakyat Indonesia di Ladang Gas Sendoro ? Matindok?. Bagian kedua berlogo MedcoEnergi, berupa lembaran surat dua halaman folio yang ditujukan ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) tertanggal 27 Januari 2009. Sedangkan bagian terakhir satu lembar tabel Indicative Offerrs berlogo MedcoEnergi.
Secara ringkas bagian pertama terbagi dalam empat sub judul. Yakni, Introduction (pembukaan), Proyek LBG Donggi Senoro telah melanggar hukum dan kepatutan (best practice), Penyimpangan atas hasil beauty contest rekanan, dan Potensi kerugian Negara Rp. 20 Trilyun. Bagian kedua adalah dokumen surat ke Bapepam-LK berisi Laporan keterbukaan informasi PT Medco Energi Internasional Tbk. Penandatangan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dengan PT Donggi Senoro-LNG.
GAS SALES AGREEMENT
Dokumen pembuksukan diawali dengan menyebut release di beberapa media masa yang menyebut pada 22 Januarin 2009.dilakukan penandatangan GasSales Agreement (GSA) antara PT Pertamina HE Tomori (PHE) dan PT Medco EP Tomori (MEP) ?keduanya Kontraktor Production Sharing/KPS)?dan PT Donggi Senoro LNG (DSL) yang merupakan konsorsium di antara Mitsubishi 51 persen, Pertamina 29 persen, dan Medco 20 persen, untuk ladang gas Senoro.
Pada tanggal yang sama dilakukan penandatangan GSA antara PT Pertamina EP (KPS) dan PT Donggi Senoro LNG untuk ladang gas Matindok. Isi kesepakatan penjualan gas tersebut disinyalir pada pokoknya berisi antara lain disepakatinya harga gas sebesar US$ 2,8/mscf pada harga minyak Rp. US$ 44/bbl dengan delivery (Pengiriman) pertama pata tahun 2013. Volume cadangan gas di Senoro dipekirakan mencapai 250 mmscf/d di Ladang Senoro, dan 85 mmscf/d di lading Matindok.
Isi dokumen selanjutnya mengurai tentang pelanggaran hukum dan kepatutan. Berdasarkan pasal 22 UU no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi jo Putusan Makamah Agung No. 002/PUU-I/2003 diatur sebagai berikut bahwa ?Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan 25 % bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
UU no 22/2001 pasal 8 ayat 1 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri. Hal itu diperkuat dengan ketentuan pasal 22 yang mewajibkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, untuk menyerahkan 25 % bagiannya dari hasil produksi Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation). Dengan demikian Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak dapat secara bebas menjual Gas Bumi tanpa persetujuan pemerintah.
Dokumen mengungkap dalam kedua GSA tersebut disepakati bahwa gas yang ada dibeli oleh DSL sebagai perusahaan domestik (dengan status Penanaman Modal Asing) akan tetapi berdasarkan informasi di media massa, Iin Arifin mengatakan, bahwa produksi gas alam cair sebesar 2 juta ton per tahun akan diekspor seluruhnya ke konsorsium pembeli Jepang yang dipimpin Chubu Electric dan Kansai Electric. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil dari pengolahan gas yang ada yaitu menjadi LNG akan dijual sepenuhnya ke pasar luar negeri (end user), di mana hal ini berarti bahwa menfaat dari hasil pengolahan gas itu sendiri akan dinikmati oleh asing dan bukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menyinggung tentang kerugian Negara Rp Rp 20 Trilyun, dokumen pembusukan informasi juga mengungkap, bahwa formulasi harga GSA antara PT Pertamina EP dengan DSLNG dan GSA PT Pertamina HE Tomori dan PT Medco HE Tomori dengan DSLNG yang ditandatangani pada 22 Januari 2009 adalah menjadi US$ 2.80/mscf pada harga JCC minyak US$ 44/bbl. Ini berarti lebih rendah daripada yang sebelumnya ditulis media massa US$ 3.85/mmbtu pada harga JCC minyak US$ 44/bbl. Penurunan yang signifikan tersebut tidak dapat mengelakan kerugian yang sangat besar untuk seluruh Rakyat Indonesia.
Dari urai tersebut, dokumen pembusujkan menegaskan, dapat dilihat, selama pelaksanaan proyek Donggi-Senoro, yaitu 15 tahun, dengan skema penjualan gas seperti tertera dalam GSA tersebut mendatangkan potensi penurunan pendapatan gas US$ 1.846.687.500,- atau sekitar Rp. 20,8 Trilyun.
Rabu, 06 Mei 2009
Menteri ESDM: Gas untuk Pupuk Sudah Tersedia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar