Batuan silisiklastik dan karbonat memiliki perbedaan yang sangat kontradiktif
dalam hal perilaku hidrolika, sejarah diagenesa, dan terutama adalah lingkungan
pembentukan. Batuan karbonat memiliki syarat-syarat tertentu untuk dapat tumbuh
dan berkembang dalam suatu lingkungan, dimana syarat-syarat ini sangat
bertentangan dengan kondisi pembentukan batuan sedimen silisiklastik sehingga kita
sering berasumsi bahwa adalah hal yang tak mungkin bila batuan sedimen silisiklastik
berada pada lingkungan yang sama dengan batuan karbonat.
Namun kedua batuan ini dapat berada pada lingkungan pengendapan yang
sama. Kenyataan membuktikan, bahwa walau tidak dalam jumlah yang melimpah, di
beberapa tempat sering kita temukan batuan sedimen campuran silisiklastik dan
karbonat. Contoh deskripsi lapangan dari batuan ini adalah batupasir gampingan,
batugamping pasiran, napal, dan lainnya. Percampuran kedua batuan ini terutama
berada pada lingkungan paparan samudera dan dapat terjadi melalui 4 proses yang
dapat berkerja sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, yaitu 1) punctuated mixing,
2) facies mixing, 3) in situ mixing, dan 4) source mixing.
Punctuated mixing adalah percampuran yang disebabkan oleh badai dengan
intensitas tinggi sehingga dapat membawa material silisiklastik untuk diendapkan di
lingkungan karbonat, maupun sebaliknya. Facies mixing adalah percampuran yang
mengikuti Hukum Walther yang mengatakan bahwa perubahan stratigrafi secara
vertikal juga akan tercermin secara lateral. Sehingga bila dalam penampang vertikal
ditemui perubahan bergradasi dari batuan karbonat menjadi silisiklastik, maka secara
lateral juga akan ditemui perubahan yang bersifat demikian. In situ mixing adalah
percampuran akibat akumulasi organisme karbonat di dalam lingkungan silisiklastik.
Sedangkan source mixing adalah percampuran akibat carbonate terrane yang
mengalami pengangkatan kemudian tererosi dan memberikan suplai materialnya ke
lingkungan silisiklastik.
Beberapa peneliti sudah mencoba untuk memberi penamaan terhadap jenis
batuan ini, seperti Folk (1959, 1962), Leighton & Pendexter (1961), Pettijohn (1975),
William et. al (1982), dan yang lebih spesifik lagi adalah Mount (1985). Masingmasing
klasifikasi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.
Bahkan analisa optik kuantitatif pun telah dilakukan guna mendapatkan informasi
geologi lebih lanjut, seperti genesa dan studi provenance.
Sebagai contoh adalah kasus batuan sedimen campuran silisiklastik dan
karbonat yang terdapat di Menorca, Spanyol. Pada daerah ini tersingkap terrigeneous
dolomite yang berumur Miosen di wilayah Pantai Migjorn. Dari hasil analisa optik
kuantitatif diketahui bahwa butir dolomite pada terrigeneous dolomite tersebut bersifat
extrabasinal. Dua batuan sumber yang mungkin menghasilkan butiran dolomite
tersebut berada pada blok Tramuntana di sebelah utara Pantai Migjorn, yaitu Formasi
Muschelkalk yang berumur Triassic dan dolostone yang berumur Jurassic. Keduanya
memiliki kenampakan petrografis yang sama dengan terrigeneous dolomite Miosen,
namun dari analisa melalui microprobe electron diketahui bahwa dolostone Triassic
bersifat ferroan, dolostone Jurassic bersifat nonferroan, demian juga dengan
terrigeneous dolomite Miosen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sumber
detrital dolomite berasal dari dolostone Jurassic dan terjadi secara source mixing.
Selasa, 19 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar