Yang menarik adalah mengapa Pertamina menaikkan harga elpiji. Menurut Humas Pertamina, ini dilakukan karena harga elpiji dijual jauh di bawah harga pasar dunia. Harga elpiji sebelum naik adalah 5.250/kg dan dinaikkan menjadi 5.750/kg, dan harga internasional sekarang adalah 11.400/kg.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah, kok elpiji mau dijual dengan harga pasaran dunia. Berbeda dengan BBM, dimana kita adalah importir, untuk kasus gas kita adalah EKSPORTIR! Gasnya punya kita, ya suka-suka kita dong jual berapa untuk rakyat. Yang perlu kita ketahui adalah berapa biaya produksinya. Selama masih nutup, tidak perlu dijual dengan harga pasaran dunia. Saya kuatir yang dimaksud rugi oleh beliau adalah opportunity loss, sebuah jargon ekonomi yang berarti kerugian akibat kehilangan kesempatan meraup keuntungan lebih besar. Kerugian ini adalah kerugian yang dibayangkan, bukan kerugian dalam arti sebenarnya. Pertamina harus mempertanggungjawabkan angka produksi gas elpiji kepada masyarakat secara terbuka, diaudit, supaya kita benar-benar tahu apakah kenaikan gas ini benar-benar rugi, atau akal-akalan pat gulipat saja.
Kenaikan yang bisa diterima akal adalah yang diakibatkan oleh kenaikan biaya distribusi, seperti yang dilansir waktu kenaikan bulan lalu. Tetapi kenaikan karena menyesuaikan dengan pasar dunia benar-benar tidak bisa diterima.
Apalagi kenaikan ini dilakukan sepertinya dengan jebakan. Setelah menghentikan distribusi minyak tanah dan memaksa masyarakat pindah ke gas, elpiji pun naik, seperti yang diduga banyak orang.
Pertamina masih sempat berkilah bahwa ini tidak akan berakibat ke rakyat miskin karena gas 3 kg tidak naik. Ini adalah sebuah pernyataan yang bodoh. Kita semua tahu logika pasar, bahwa jika elpiji 12 kg naik, apalagi kalau benar akan naik Rp500/kg perbulan, yang terjadi adalah hijrah besar-besaran ke elpiji 3 kg. Yang akan terjadi adalah kelangkaan elpiji 3 kg, dan membuat harganya di pasaran naik, meskipun harga distributor tetap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar