Rabu, 22 April 2009

Penambangan Hidrokarbon di Laut-Dalam, Frontier Terbaru Industri Perminyakan


Lapangan hidrokarbon West Seno di pinggiran Selat Makassar yang baru-baru ini telah berproduksi menandai babak baru eksplorasi dan eksploitasi perminyakan di Indonesia. Kenapa? Karena West Seno merupakan proyek laut-dalam (deepwater) pertama di Indonesia yang sudah berproduksi. Kedalaman laut (jarak dari permukaan air sampai ke dasar laut) di area tersebut berkisar 1000m. Di industri perminyakan, lebih dari 200m umumnya didefinisikan sebagai laut-dalam. Tulisan ini bermaksud untuk mengulas secara populer karakteristik dan tantangan memproduksi hidrokarbon (minyak bumi dan/atau gas alam) dari area laut-dalam tersebut.

Eksplorasi di laut-dalam dimulai pada akhir tahun 70-an di perairan Teluk Meksiko (Amerika Serikat), lepas pantai Brazil dan Afrika Barat. Selain di pinggiran Selat Makassar, di wilayah Australasia lainnya ada di lepas pantai Malaysia Timur dan Australia sebelah baratdaya. Berkembangnya penambangan laut-dalam ini dikarenakan dua faktor utama. Pertama, cadangan hidrokarbon dunia semakin menipis di daerah konvensional (daratan dan laut-dangkal) sementara permintaan selalu naik. Kedua, teknologinya terus berkembang dan makin dikuasai.

Karakteristik penambangan laut-dalam:
1. Biaya operasional yang lebih tinggi. Hampir semua aktivitas di atas rig lebih kompleks dan membutuhkan waktu yang lebih lama mengakibatkan ongkos sewa rig makin mahal (sewa rig untuk laut-dalam perharinya termasuk yang termahal).
2. Suhu air yang rendah, diperparah dengan gradien temperatur yang tak linear dan arus bawah laut. Di perairan tropis sekalipun, suhu air bisa mencapai sekitar 1-2 derC di kedalaman 1700m. Temperatur dingin dapat berefek ke:
A. Perubahan viskositas, densitas dan rheology fluida. Fluida ini bisa meliputi lumpur pemboran, campuran semen, fluida pengisi sumur ataupun fluida hidrokarbon itu sendiri.
B. Waktu yang dibutuhkan semen untuk mengering lebih lama. Semen umumnya didesain agar dapat mengeras secepat mungkin untuk menghindari intrusi gas ke dalam anular sumur dan juga mengurangi ongkos stand-by rig. Sumur tidak dapat diapa-apakan kalau semennya belum mengeras sempurna.
C. Resiko hidrat-gas di sekitar permukaan dasar laut. Hidrat-gas terjadi karena efek tekanan tinggi dan suhu rendah, yang merupakan kondisi alami di dasar laut-dalam. Hidrat-gas yang bentuknya mirip es batu, berisi campuran air dan gas-alam, dapat menyumbat berbagai macam saluran, baik untuk produksi maupun untuk pengendalian sumur (well-control). Hidrat-gas juga dapat membuat dehidrasi semen dan lumpur pemboran. Untuk menghindarinya, yang praktis dilakukan adalah menambahkan garam atau glikol ke dalam lumpur. Cara lain, mensirkulasi lumpur atau memanasinya agar temperaturnya naik. Densitas lumpur juga bisa didesain serendah mungkin dalam batas aman untuk mengurangi tekanan hidrostatisnya.
D. Jika reservoarnya mengandung paraffin atau asphaltene, pada suhu rendah material ini dapat menjadi deposit solid dan dapat menyumbat atau mengganggu aliran fluida.

3. Margin tekanan reservoar (pore pressure) dan tekanan rekah (fracture pressure) umumnya tipis, sementara viskositas dan densitas lumpur malah naik akibat suhu dingin. Akibatnya sukar untuk menghindari larinya dan hilangnya fluida sumur ke dalam reservoar. Kondisi ini sering memaksa sumur didesain memakai casing (pipa tubular sumur) yang kompleks.
4. Bahaya shallow water/gas flow. Sering terjadi jika terdapat lapisan bebatuan yang masih labil pada kedalaman rendah dan berisi fluida (air atau gas) bertekanan tinggi. Suhu rendah menyebabkan semen konvensional akan memakan waktu yang lebih lama untuk mengeras. Pada saat fasa semen masih belum solid, air atau gas bertekanan tadi dapat masuk ke dalam anular sumur berisi semen lalu naik ke permukaan dasar laut. Jika ini terjadi, integrasi semen akan dikatakan gagal dan penyemenan remedial yang ongkosnya mahal harus dilakukan. Sebelum mulai menggali sumur, sering operator melakukan pekerjaan seismik di kedalaman rendah untuk mendeteksi kemungkinan adanya lapisan shallow water/gas tersebut. Juga sumur pendahuluan (pilot well) sering digali terlebih dahulu untuk mengumpulkan data-data reservoar di area tersebut. Selain itu, sekarang telah ditemukan sistem semen yang memakai ilmu chemistry canggih dan dapat menciptakan properti semen yang cocok untuk sumur laut-dalam. Walaupun pada suhu mendekati titik beku air, waktu mengerasnya semen dapat kita kontrol sesuai dengan yang diinginkan. Hasilnya, instrusi gas ke dalam anular dapat dicegah, waktu tunggu rig bisa dipercepat dan ongkos rigpun dapat ditekan.
5. Pengendalian sumur yang lebih sulit karena BOP (alat pencegah meledaknya sumur di permukaan/blow-out) terletak jauh di dasar laut dan properti lumpur yang berubah di suhu rendah. Lumpur merupakan salah satu komponen penting untuk pengendalian sumur. Kuantitas lumpur yang dipakai umumnya dalam jumlah besar, bisa lebih dari 4000 barrel (636m3), dan waktu sirkulasi sumur yang lama, menyebabkan lumpur harus dimonitor secara periodik agar masalah yang mungkin timbul dapat dideteksi dari awal. Dengan menganalisis properti lumpur dapat diprediksikan apa yang sedang atau akan terjadi di bawah sana. Berbagai sensor elektronik dan mekanik yang sangat akurat dipakai untuk mengambil data-data densitas, rheology, pH, konduktivitas, suhu lumpur dan lainnya secara real-time dan kontinyu.
6. Fasilitas produksi bawah-air yang harus tahan temperatur rendah dan tekanan hidrostatik air yang tinggi (bisa mencapai 5000psi atau 34.5MPa). Berbeda dengan laut-dangkal, umumnya kontur geografis permukaan dasar laut di daerah laut-dalam tidaklah datar, melainkan miring karena daerah ini merupakan batas paparan benua. Juga, sering kondisi permukaannya tidak stabil. Kedua hal ini mendorong diciptakannya fasilitas yang mengambang di dalam air, tidak duduk di atas permukaan dasar laut. Fasilitas yang harus reliabel dan kompleks ini mengakibatkan harganya sangat mahal. Umumnya juga sumur-sumur di laut-dalam terletak relatif jauh dari garis pantai atau jauh dari fasilitas pengumpulan hidrokarbon di darat. Untuk mengatasinya, sekarang sudah banyak dioperasikan fasilitas produksi yang mengapung di atas kapal atau platform (FPS-floating production systems dan EPS-early production systems). Dengan fasilitas ini, waktu pemrosesan hidrokarbon dapat dipersingkat dan minyak/gas dapat cepat bisa dijual. Uang yang diinvestasikan pun dapat lebih segera kembali.

Baru permulaan.
Selama 100-tahun sejarah penambangan hidrokarbon lepas pantai, sudah tak terhitung banyaknya perkembangan yang telah dicapai. Namun khusus di area laut-dalam tantangan yang sebenarnya barulah dimulai. Tingkat keberhasilan eksplorasi di laut-dalam naik dari 10% menjadi 30% sekarang. Sampai hari ini, laut-dalam telah menyumbang sebanyak 60milyar barrel (9.5 milyar m3) ke cadangan minyak dunia. Menurut estimasi, 95% dari area lautan yang potensial mengandung hidrokarbon tetapi belum dieksplorasi terletak di kedalaman lebih dari 1000m. Diperkirakan cadangannya mencapai angka 8-15 milyar barrel (1.3-2.4 milyar m3) minyak. Baru 25% dari cadangan laut-dalam tersebut yang telah/sedang dikembangkan dan hanya 5% yang sudah berproduksi.
Selama dekade terakhir, operator industri perminyakan berlomba-lomba membuat rekor di wilayah laut-dalam dengan mengaplikasikan berbagai teknologi canggih dan pengalaman. Semuanya sejalan dengan tujuan mencari dan memproduksi minyak dan gas untuk memenuhi kebutuhan peradaban manusia. Mengingat planet bumi sebagian besar permukaanya ditutupi lautan dan juga teknologi yang tidak pernah berhenti untuk berkembang, bolehlah kita tetap optimis bahwa minyak dan gas alam dunia akan masih terus ditemukan dan diproduksi sampai puluhan tahun ke depan. Laut-dalam telah menjadi frontier terbaru di kancah industri perminyakan, termasuk di Indonesia.

Penulis: Doddy Samperuru
Pemerhati teknologi perminyakan dan praktisi industri hulu perminyakan

Sumber : http://n-zafee.blog.friendster.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar